Bagi kamu penyuka novel kamu wajib banget baca Novel Ronggeng Dukuh Paruk dimana novel ini mengisahkan tentang sejarah masa lalu Indonesia di tahun 1965an dimana di kisahkan tokoh wanita Srintil yang dulu hanya digunakan pemuas nafsu belaka.
Di artikel ini akan di bahas bagaimana unsur kebahasaan novel Ronggeng Dukuh Paruk secara lengkap. Kamu bisa simak artikel ini sampai selesai untuk mengetahui lebih jelas secara lengkap artikel ini.
Sebelum beranjak ke unsur kebahasaan novel Ronggeng Dukuh Paruk alangkah baiknya kamu simak dulu pengertian dari novel itu sendiri untuk apa.
Jadi, novel adalah karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya.
Novel juga menceritakan watak serta sifat dari setiap pelaku. Novel ini berbeda dengan cerpen ya, novel ini lebih bersifat lebih kompleks, panjang, dan memiliki alur serta latar yang lebih beragam.
Judul Novel | Ronggeng Dukuh Paruk |
Penulis | Ahmad Tohari |
Tahun Terbit | 2011 |
Jumlah Halaman: | 408 Halaman |
Penerbit | Gramedia Pustakan Utama |
Harga Buku | Rp.65.000,- |
Novel ini merupakan salah satu karya dari penulis terkenal di masa dulu bernama Ahmad Tohari. Dengan memiliki 408 halaman dan juga diterbitkan pada tahun 2011 dengan latar tahun 1965an.
Buku ini juga merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Lentera Bianglala.
Dan ini berarti dengan membeli satu buku kita dapat tiga buku sekaligus. Apalagi dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun. Untuk lebih jelasnya kamu bisa simak secara singkat mengenai sinopsis novel Ronggeng Dukuh Paruk di bawah.
Sebelum ke pembahasan mengenai unsur kebahasaan Ronggeng Dukuh Paruk mari kita simak terlebih dahulu mengenai sinopsis singkat mengenai novel ini.
Novel ini mengambil setting sekitar tahun 1965an semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk yang baru, bagi pendukuhan ini ronggeng adalah perlambang.
Dengan segera Serintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi pada cerita di novel tersebut, Srintil yang memiliki paras cantik dan menggoda. Semua ingin merasakannya dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun pejabat kabupaten.
Namun, malapetaka politik membuat dukuh paruk hancur secara fisik maupun mental, pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan.
Hanya karena kecantikan Srintil tidak diperlakukan semena-mena di penjara. Pengalaman pahit sadar akan hakikatnya sebagai manusia karena itu setelah bebas ia berniat memperbaiki citra dirinya.
Ia ingin menjadi wanita somahan. Sepercik harapan muncul ketika Bajus muncul mesti akhirnya ia harus kembali terhempas. Karena ia salah menilai Bajus pria yang baik dan bertanggungjawab buktinya malah sebaliknya.
Di dalam novel ini Dukuh Paruk adalah gambaran secara jelas dimana pola pikir dan budaya masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan,
Dengan muatan gender juga sangat terasa dimana Srintil dijadikan objek oleh kebanyakan orang sebagai pemuas nafsu lelaki dan ironisnya kebanyakan wanita pun merasa bangga dengan keadaan ini.
Jadi cerita ini ini jika disimpulkan merupakan kesenian rakyat yang terbawa pada arus politik yang mengakibatkan para pelakunya dituduh sebagai manusia yang mengguncangkan negara. sehingga orang-orangnya ditahan dan harus menyandang status “Tapol” atau tahanan polisi.
Perlu kamu ketahui bahwa unsur kebahasaan novel Ronggeng Dukuh Paruk ini terdiri dari gaya bahasa perumpamaan, majas metapora, majas personifikasi, majas depersonifikasi, dan majas sindiran.
Dan berikut akan kami jelaskan beberapa unsur kebahasaan novel beserta contohnya.
Jadi, gaya bahasa perumpamaan ini adalah dua perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. berikut contohnya:
Unsur kebahasaan novel Ronggeng Dukuh Paruk selanjutnya ada gaya bahasa Metapora. Yaitu gaya bahasa yang menggunakan kata-kata buka arti sebenarnya melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan dan perbandingan.
Ditemukan ada tiga jenis metapora antara lain diantaranya adalah:
Selanjutnya yang termasuk unsur kebahasaan novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah gaya bahasa personifikasi yaitu gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda mati atau barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia.
Dan berikut beberapa contoh majas tersebut dalam novel ini diantaranya adalah:
Yaitu gaya perbedaan yaitu membedakan manusia atau insan. Dapat dikatakan bahwa depersonifikasi adalah gaya bahasa yang menggambarkan manusia menjadi atau memiliki sifat-sifat benda mati atau benda lainnya yang bukan manusia.
Berikut contoh dalam novel Rongeng Dukuh Paruk, diantaranya adalah:
Yaitu merupakan gaya bahasa yang digunakan untuk menyindir dan berikut contoh yang terdapat dalam novel, yaitu: