√ Kaidah Kebahasaan Novel Sejarah Pangeran Diponegoro
Kaidah kebahasaan novel sejarah pangeran diponegoro membahas mengenai kaidah kebahasaan yang terdapat dalam novel tersebut. Dengan menganalisis kalimat bermakna lampau, konjungsi, kata kerja material, kalimat tak langsung dan lain sebagainya.
Tentunya bukan hanya kaidah kebahasaan saja. Ada identitas, lalu puncak konplik mulai dari orientasi, pengungkapan peristiwa, menuju konplik, puncak konplik, dan penyelesaian serta nilai moral yang terkandung dalam novel sejarah pangeran diponegoro.
Identitas Novel Sejarah Pangeran Diponegoro
Berikut ini merupakan identitas novel sejarah pangeran diponegoro secara lengkap diantaranya adalah:
Judul Novel | Pangeran Diponegoro (Menggagas Ratu Adil) |
Penulis | Alif Danya Munsyi |
Jumlah halaman | 340 Halaman |
Ukuran buku | 21 cm |
Penerbit | Tiga Serangkai |
Kategori | Novel Sejarah |
Tahun Terbit | 2007 |
Harga novel | Rp. 50.000 |
Novel pangeran diponegoro (Mengagas Ratu Adil) ini merupakan sebuah novel sejarah hasil karya dari Alif Danya Munsyi atau Remy Sylado. Ia merupakan seorang penggiat seni yang melahirkan banyak karya.
Tidak hanya novel beliau bahkan merupakan seorang materpiece di bidang sastra lain seperti musik, teater, dan aktif hingga saat ini. Dan buku-bukunya sangat kaya akan pengetahuan begitu banyak memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Kaidah Kebahasaan Novel Sejarah Pangeran Diponegoro
Berikut kaidah kebahasaan novel sejarah pangeran diponegoro, diantaranya adalah:
1. Kalimat Bermakna Lampau
Kaidah kebahasaan yang pertama dalam novel sejarah adalah kalimat bermakna lampau seperti kutipan berikut:
“Takkan dilupakan oleh Ratu Ageng, bahwa menjelang adzan magrib ketika suaminya itu sedang duduk berselonjor di prabayasa, terdengar tangis bayi Ontowiryo di buaian bundanya, RA Mangkarawati”.
2. Penggunaan Konjungsi Yang Menyatakan Urutan Waktu
Lalu kaidah kebahasaan novel sejarah pangeran diponegoro adalah adanya penggunaan konjungsi yang menyatakan urutan waktu seperti pada kutipan berikut “Kini di usia Ontowiryo yang sepuluh tahun, Ratu Ageng melihat perkembangan yang menarik”.
3. Penggunaan Kata Kerja Material
Selanjutnya kaidah kebahasaan novel sejarah harus adanya penggunaan kata kerja material. Seperti contoh berikut ini: “Kalagemet yang ketika itu masih bocah, berdiri bersandar tiang saka dan terlihat pucat, sementara kegelisahan terbaca jelas dari wajah para ibundanya”.
4. Penggunaan Kalimat Tak Langsung
Berikutnya kaidah kebahasaan novel sejarah pangeran diponegoro (Menggagas Ratu Adil) Contohnya seperti: “Ratu Ageng berpikir, Ontowiryo harus juga belajar secara khusus di sebuah lembaga pendidikan”.
5. Penggunaan Kata Kerja Mental
Kaidah kebahasaan selanjutnya adalah adanya penggunaan kata kerja mental Contohnya seperti berikut:
“Ratu Ageng sadar, janjinya kepada Raja, suaminya adalah sumpah setia seorang istri”.
6. Penggunaan Dialog
Penggunaan dialog juga harus ada dalam kaidah kebahasaan novel sejarah contohnya seperti: “Ya, suamiku raja” kata Ratu Ageng seraya menyerahkan bayi itu kepada suaminya.
Kata Ratu Ageng kepada Kiayi Taptajani, penerus Kiayi Nuriman, menyerahkan Ontowiryo. “Didiklah cucu buyutku ini menjadi pemimpin yang berguna bagi bangsa, tanah air, dan agama”.
7. Penggunaan Kata Sifat
Terakhir kaidah kebahasaan pada novel sejarah pangeran diponegoro adanya penggunaan kata sifat seperti pada kutipan berikut: “Sultan Sendiri terkesima melihat cicitnya yang sulung dari cucunya Hamengku Buwono III yang asma dalem timurnya Raden Mas Suroyo.”
Puncak Konflik Novel Sejarah Pangeran Diponegoro
Berikut merupakan urutan puncak konplik dari novel sejarah pangeran diponegoro, yaitu:
1. Orientasi
Orientasi merupakan awalan cerita dengan memperkenalkan latar cerita baik waktu, tempat, tokoh maupun peristiwa. Misal : Ontowiryo, anak laki-laki sepuluh tahun nan Cakep ini dikenal rakyat sekitar Tegalrejo sebagai Seh Ngabdulrohim, dan kelak terkenal seantero Nusantara sebagai Pangeran Diponegoro.
2. Pengungkapan Peristiwa
Berisi rangkaian peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah pada tokoh-tokohnya. Seperti: Ontowiryo telah terbiasa membaca buku-buku yang terbilang pelik. Buku-buku yang di atas meja antara lain tentang sejarah Majapahit dan Mataram.
3. Menuju Konplik
Peristiwa tamabahan yang akan menjadi pemic konplik dalam cerita. Seperti:
“Kamu kan tahu Wir, keadaan Rajaniti kekuasaan sekarang ini sudah seperti lahar yang mendidih dan tidak terlihat bahayanya oleh mereka yang hatinya cemar.” Kata Ratu Ageng, Ontowiryo tertegun.
4. Puncak Konplik
Konflik cerita kemudian berfokus pada keraton Mataram, pengkhianatan Danurejo II, yang juga menantu Sultan Hamengku Buwono II, dengan menjual informasi kepada Belanda yang akhirnya harus dibayar dengan hukuman setimpal.
5. Rosulusi
Keesokan harinya kedua-duanya dinasehati oleh Kiayi Taptajani
“Berkelahi itu tidak baik” kata sang kiayi.
“Nanti kalau kalian sudah besar, ingatlah baik-baik nasihatku ini”.
6. Koda
Pada suatu ketika, di akhir latihan, sebelum balik ke Yogyakarta, Pangeran Bei berkata, “Paman lihat perkembangannya makin hari makin bagus. Kamu harus jaga keseimbangan itu” Ontowiryo Merendah “Saya, masih merasa kurang”.
Nilai Moral Novel Sejarah Pangeran Diponegoro
1. Jangan Mudah Percaya Orang Lain
Nilai moral dalam novel ini terdapat unsur moral yang bisa kita ambil pertama jangan mudah percaya terhadap orang yang tidak terlalu kenal. Dan manusia yang bermuka dua tidak akan pernah memberi manfaat.
2. Adab Bertamu
Nilai moral yang terdapat dalam novel ini adalah adanya adab bertamu dimana yang punya rumah harus mempersilahkan tamunya untuk masuk ketempat tinggalnya.
Seperti dalam kutipan berikut ini. “ketika Danurejo II datang kepadanya, dia menyambut dengan bahasa melayu fasih, sementara pejabat keraton Yogyakarta yang merupakan musuh dalam selimut dari sultan Hamengkubuwono II ini lebih suka cakap bahasa Jawa”.
3. Menghormati Orang tua
Seperti yang di lakukan Ontowiryo yang sopan dan patuh juga menghormati orang tuanya.